About

KETERANGKATAN MARWAH NU


MUKTAMAR ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) di tanah kelahirannya telah selesai diselenggarakan secara dinamis. Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari muktamar kali ini,
sebagai momentum bersejarah yang mengabarkan pelajaran berharga. Namun yang paling berharga adalah bagaimana marwah (kehormatan) para kiai sebagai simbol jam’iyyah (organisasi) dapat kembali terangkat dari tangan yang berusaha merusaknya. Kehormatan NU kembali bangkit setelah kokohnya sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA, ada yang menyebut ahlaq) sebagai format pemilihan rais aam syuriah. Sistem ahwa, yang prinsipnya musyawarah para kiai, menjadi model pemilihan paling tepat untuk mengembalikan haibatul ulama dan kehormatan organisasi.

Dalam musyawarah kiai sepuh, sebenarnya KH Mustofa Bisri yang ditunjuk sebagai rais aam. Kiai Maemun Zubair juga telah mendesak Gus Mus supaya bersedia. Namun Gus Mus memilih jalan sunyi. Betapa indahnya kelapangan hati para kiai organisasi ini. Dari proses berliku, muktamar ke- 33 menghasilkan duet kepemimpinan Rais Aam Syuriah KH Ma’ruf Amin dan Ketua Umum Said Aqil Siradj. Duet ini diharapkan membawa yang terbaik bagi masa depan ormas itu. Ada beberapa poin mendasar yang jadi kerja penting NU di masa mendatang. Pertama, membangun islah. Silang pendapat dalam organisasi perlu disiasati sebagai dinamika yang menguatkan jam’iyyah sekaligus jama’ah. Perbedaan pendapat merupakan hal wajar. Tentu perbedaan cara pandang perlu dijembatani dengan islah, dengan perdamaian, silaturahmi, dan dialog.
Gesekan kepentingan dalam Muktamar NU, harus segera diselesaikan agar membawa maslahat kepada semua. Penulis di arena muktamar, memahami betapa berat perjuangan untuk mengembalikan martabat NU. Kepentingan politik dan rasa haus jabatan mewarnai muktamar kali ini. Air mata yang menetes dalam pidato KH. Mustofa Bisri menjadi penyejuk ribuan muktamirin untuk kembali ke panggilan hati. Kedua, merumuskan strategi Islam Nusantara. Wacana Islam itu sudah mendunia, sejak diangkat sebagai tema muktamar NU dan diapresiasi Presiden Joko Widodo. Islam Nusantara tidak hanya milik NU, tetapi juga milik Muhammadiyah dan ormas lainnya yang peduli pada tradisi, Pancasila dan NKRI. Ketiga, menguatkan kaderisasi dan kemandirian ekonomi. Kaderisasi menjadi salah satu poin, yang dipadukan dengan kemandirian ekonomi. Dalam beberapa tahun mendatang, NU akan dibanjiri o l e h ribuan doktor muda berlatar belakang pesantren, serta memiliki ragam disiplin ilmu sains.
Inilah SDM perlu diberi kanal untuk mewakafkan sebagian dari ilmu dan pikirannya untuk masa depan muslim Nusantara. Perjuangan Segaris Berdirinya NU, tidak lepas dari peran Kiai Hasyim Asy’arie (1875- 1947), Kiai Wahab Chasbullah (1888- 1971) dan Kiai Bisri Syansurie (1886- 1980). Sementara, Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923) berjuang untuk menjemput kemerdekaan dengan gerakan organisasi yang dipimpinnya. Secara genealogis, Kiai Hasyim Asyarie dan Kiai Ahmad Dahlan memiliki guru yang sama: Kiai Saleh Darat Semarang (Bruinessen, 2007). Dengan demikian, basis pengetahuan dan perjuangan NU dan Muhammadiyah sebenarnya segaris. Kiai Wahab Chasbullah menginisiasi berdirinya NU setelah ia pulang dari mendalami Islam di Makkah dan Madinah. Sewaktu di Hijaz, Kiai Wahab mengikuti dinamika politik Tanah Air dan menggerakkan anak-anak muda dengan mengikuti organisasi Sarekat Islam. Sebagai orang pergerakan, Kiai Wahab mengerti bahwa tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan fondasi pemikiran, akan tetapi juga strategi organisasi dan jaringan pergerakan. Komite Hijaz tidak lepas dari peran para kiai yang berlatar belakang pesantren. Pada 18 Agustus 1945, dalam sidang perumusan Pancasila dan UUD 1945, Kiai Wahid Hasyim (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) memainkan peran penting dalam moderasi keislaman dan kebangsaan, dengan mencoret 7 kata yang diperdebatkan antarkelompok Islam. Dengan demikian, NU dan Muhammadiyah memiliki sumbangsih besar menjaga harmoni bangsa. Garis tawassuth yang mereka perankan memiliki kontribusi penting dalam menegakkan NKRI. Inilah karakter khas Islam Nusantara, yang mengonstruksi jembatan harmoni antara keislaman, kebudayaan, dan kebangsaan. (10)
— Munawir Aziz, peserta Muktamar Ke-33 NU, dosen Staimafa Pati

0 komentar:

Posting Komentar